Mereka Merampas Hak Ucapan Ulama
Oleh : Abu Ukasyah Wahyu al-Munawy
Tidak ada yang meragukan bahwa tahdzir adalah bagian dari agama yang mulia ini. Perkara memperingatkan manusia dari suatu kesalahan adalah sesuatu yang diharuskan, sebab ia merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar. Karena itu para ulama dari dulu hingga hari ini terus melakukan hal ini (tahdizr), namun dengan adab-adab yang mulia.
Memperingatkan manusia untuk menjauhi kesalahan merupakan suatu amal mulia, karena itu para salaf sangat senang jika ada orang-orang yang menjelaskan kesalahan-kesalahan mereka. Akan tetapi hal ini bukan berarti para salaf senang mencela manusia di hadapan umum dengan menjatuhkan kehormatan dan wibawanya di hadapan manusia lainnya, apalagi sampai memvonis keluar dari kelompok yang selamat (ahlusunnah) tanpa adanya tastabbut dan iqamatul hujjah.
Kendati demikian, ada saja orang-orang yang menggunakan perkataan para ulama untuk membenarkan kebiasaan buruk mereka, yaitu menjatuhkan kehormatan dan wibawa seorang muslim (da’i) di hadapan manusia lainnya, mencela dengan kata-kata kasar hingga sampai memvonis bahwa saudara mereka telah keluar dari kelompok yang selamat (ahlusunnah) tanpa adanya tastabbut dan iqamatul hujjah. Cara mereka adalah dengan menukil perkataan ulama, salah satunya adalah perkataan Imam Ibnu Quddamah rahimahullah dalam kitabnya “Mukhtashar Minhaj al-Qashidin”, ia berkata:
وقد كان السلف يحبون من ينبههم على عيوبهم ونحن الآن في الغالب أبغض الناس إلينا من يعرفنا عيبنا
“Dahulu para salaf adalah orang-orang yang sangat senang jika ada orang-orang yang memperingatkan mereka akan aib-aib (kesalahan-kesalahan) mereka, sedangkan kita hari ini sangat membenci orang-orang yang menunjukkan kepada kita kesalahan-kesalahan kita.” (Mukhtashar Minhaj al-Qashidin: 121)
Sayangnya mereka berdusta, perkataan mulia ini bukanlah perkataan dalam hal menghukumi manusia di depan umum, apalagi menuduh manusia dengan hal-hal yang belum belum tentu diyakinininya, melainkan hanyalah kesalahan salah ucap atau lainnya, lalu tanpa adanya tabayyun dan tastabbut (konfirmasi kebenaran) agar bisa ditegakkan hujjah padanya, seseorang memvonis bahwa saudaranya telah keluar dari ahlusunnah.
Ya, mereka berdusta atas nama Imam Ibnu Quddamah rahimahullah. Perkataan ini beliau sebutkan dalam kitabnya “Mukhtashar Minhaj al-Qashidin” pada pembahsan “Cara mengetahui kesalahan diri sendiri ada empat cara, pada cara yang kedua ia berkata:
أن يطلب صديقا صدوقا متدينا وينصبه رقيبا على نفسه لينبهه على المكروه من أخلاقه وأفعاله
“Mencari kawan karib yang jujur dan terpercaya yang memiliki agama yang baik. Dia bisa menjadikan teman karibnya itu sebagai orang yang dapat memperingatkannya dari akhlak-akhlaknya atau perbuatan tidak baik yang dilakukannya.” (Mukhtashar Minhaj al-Qashdin: 121)
Karena itu Imam Ibnu Quddamah rahimahullah menukil sikap sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam hal ini adalah Umar Ibn al-Khattab radhiyallahu ‘anhu yang bertanya kepada Salman radhiyallahu ‘anhu, juga kisah Umar yang bertanya kepada Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, lalu beliau menjelaskan akan semakin sedikitnya sahabat-sahabat yang jujur, sebab hanya sedikit dari sahabat-sahabat manusia sekarang yang tidak meninggalkan sikap mencari muka dan hasad. Maka beliaupun mengucapkan kalimat:
وقد كان السلف يحبون من ينبههم على عيوبهم ونحن الآن في الغالب أبغض الناس إلينا من يعرفنا عيبنا
“Dahulu para salaf adalah orang-orang yang sangat senang jika ada orang-orang yang memperingatkan mereka akan aib-aib (kesalahan-kesalahan) mereka, sedangkan kita hari ini sangat membenci orang-orang yang menunjukkan kepada kita kesalahan-kesalahan kita.” (Mukhtashar Minhaj al-Qashidin: 121)
Karena itu menjadikan perkataan imam Ibnu Qudaamah rahimahullah dalam masalah ini untuk mencela, menjatuhkan kehormatan dan menuduh manusia serta memvonis keluar dari jalan yang selamat tanpa adannya tabayyun dalam mengambil berita dan iqamatul hujjah kepada manusia atau seorang da’i di hadapan umum, maka ini adalah tindakan berdusta atas nama seorang ulama, bahkan ini termasuk perkara merampas hak perkataannya. Sebab Ibnu Quddamah berbicara tentang masalah lain, lalu ada orang-orang yang merampas perkataannya itu untuk membenarkan perbuatan buruk mereka yaitu mencela, menuduh dan memvonis keluar dari jalan kelompok yang selamat pada orang-orang yang berbeda dengan mereka di dahapan umum. wallahul musta’an, ini bukanlah akhlak salaf.
Syaikh Khalid Ibn Ahmad az-Zahrani hafizhahullah berkata:
فتنبه رعاك الله!! إذ أن الحكم بالتأثيم لا بد فيه من التثبت والتيقن خلاف التنبيه على الخطأ فإنه يكتفى بصدور الخطأ
“Maka perhatikanlah semoga Allah menjagamu!! Sesungguhnya perkara menghukumi seseorang bahwa ia telah terjatuh dalam dosa harus dengan tastabbut dan tayyaqqun (konfirmasi ke validan berita) berbeda halnya dengan memperingatkan kesalahan, hal itu hanya mencukupkan dengan menjelaskan kesalahannya.” (Da’watu Ahli al-Bida’: 113)
Karena itu pula menjadikan kisah Shalih al-Farra rahimahullah yang menceritakan tentang Waki’ yang terkait “fitnah” kepada Yusuf Ibn Asbath rahimahullah yang kemudian menyebut bahwa Waki’ (guru imam Syafi’i) sama dengan gurunya yaitu al-Hasan Ibn Shalih Ibn Hay rahimahullah yang terkait fitnah (Bolehnya mengangkat senjata memerangi Ulil Umri), untuk menjadi dalil bolehnya mencela dan menuduh manusia tanpa tabayyun di depan umum lalu menghukumi mereka telah keluar dari jalan ahlusunnah wal jama’ah adalah suatu kesalahan.
Sebab yang dilakukan oleh Yusuf Ibn Asbath rahimahullah adalah menjelaskan kesalahan Hasan Ibn Shalih Ibn Hay rahimahullah agar orang-orang tidak ikut dalam kesalahan (fitnah) yang waki’ juga terjatuh padanya. Karena itu ia berkata:
أنا أنهى الناس أن يعملوا بما أحدثوا فتتبعهم أوزاهم، ومن أطراهم، كان أضر عليهم
“Aku melarang manusia agar tidak mengamalkan bid’ah yang mereka lakukan sehingga mereka mengikutinya dan juga dosa-dosa mereka, dan siapa yang berlebih-lebihan dalam memuji mereka maka hal itu dapat membahayakan diri mereka. (Siyar A’lam an-Nubala: 7/364)
Lalu bisakah kita menyamakan fitnah yang dibolehkan oleh Al-Hasan Ibn Shalih ini yaitu mengangkat senjata melawan penguasa dengan kasus demonstrasi damai kaum muslimin hari ini yang menuntut dipenjarakannya seorang kafir penista kitab suci dan banyak menzhalimi kaum muslimin?
Jawabannya adalah tidak! Sebab kedua kasus sangat berbeda. Kaum muslimin hari ini hanya menuntut dipenjarakannya seorang kafir penista al-Qur’an dan agar diberhentikan dari kekuasaannya yang sedang menjadi pemimpin kaum muslimin (dimana hal itu sesuai undang-udang yang belaku) tanpa membolehkan mengangkat senjata bahkan dilakukan secara damai, sebagai bentuk ketaatan pada penguasa akan aturan yang mereka buat, bahwa untuk menyalurkan aspirasi rakyat adalah dilakukan dengan demonstrasi.
Hal ini seperti kisah sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang datang dalam ribuan orang untuk menuntut agar pembunuh utsman segera di hukum, tanpa adanya niat berperang sedang penguasa saat itu adalah Ali radhiyallahu ‘anhu yang menjabat sebagai seorang Khalifah.
Hal ini juga merupakan bentuk pengamalan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِى ثُمَّ يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ
“Tidaklah suatu kaum diantara mereka ada yang melakukan kemaksiatan kemudian mereka memiliki kemampuan untuk merubahnya namun mereka tidak merubahnya kecuali Allah akan mengazab mereka.” (HR. Abu Dawud, al-Arnauth mengatakan haditsnya hasan.)
Adapun kasus al-Hasan Ibn Shalih rahimahullah adalah ia membolehkan mengangkat senjata (memberontak hingga perang saling membunuh) kepada penguasa.
Karena itu illah keduanya berbeda dan tidak bisa disamakan dengan kasus hari ini.
Wallahu a’lam bishshowab.
Baca Juga >>
Toleransi & Makna Perayaan Natal
Keutamaan Menjalin Silaturrahim
Related Posts
« Awas!! Fitnah Ilmu Itu Mengerikan Apakah Boleh Sholat Malam Sebelum Tidur ? »