Debat dan Diskusi Di Zaman Imam Syafi’i
Pada masa pemerintahan Ar-Rasyid, para ahli fikih, ahli hadits, dan pemberi nasihat cukup dekat dengan khalifah. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa khalifah Harun Ar-Rasyid menahan gerak Mu’tazilah dan melarang masyarakat untuk sibuk dengan ilmu logika. Mungkin, kebaikan Ar-Rasyid inilah yang memotivasi Imam Syafi’i untuk tinggal di kota Baghdad pada masa pemerintahannya. Kemudian beliau pergi meninggalkan Baghdad tatkala kursi kekhilafahan berada digenggaman khalifah Al-Makmun.
Kedekatan khalifah Harun Ar-Rasyid terhadap para ahli fikih memiliki pengaruh-pengaruh yang luar biasa dalam pemerintahannya. Dia merupakan sosok khalifah yang banyak mendengarkan nasihat dari para ulama. Terkadang ia juga meminta nasihat itu secara pribadi kepada para ulama. Khalifah Harun memperhatikan dan mengindahkan nasihat-nasihat itu, meski kata-katanya pedas dan ungkapannya kasar. Khalifah Harun mendengarkan petuah dari Imam Malik dan dari ulama-ulama lainnya yang hidup pada masa pemerintahannya.
Disebutkan dalam riwayat yang lain bahwa khalifah Harun meminta Imam Syafi’i untuk memberinya nasihat. Ketika itu, Imam Syafi’i sedang dalam proses interogasi atas tuduhan kepadanya sebagai pengikut komplotan Alawiyin. Dan Imam Syafi’i berhasil menunjukkan bahwa dirinya bersih dari tuduhan dusta itu Pada masa pemerintahan Ar-Rasyid, fikih dan para ahlinya memiliki kedudukan tinggi. Mereka menjadi mulia dengan Kemuliaan ilmu dan menjadi tinggi dengan ketinggiannya. Kemudahan inilah yang menjadikan ilmu fikih berkembang Sedemikian rupa pada masa itu. Kebijakan khalifah pada waktu itu menjadikan para bangsawan dan orang-orang yang cerdas mengkaji berbagai ilmu pengetahuan, tak terkecuali bidang fikih.
Diskusi Menumbuhkan Semangat Keilmuan
Nuansa perdebatan begitu kuat dan sering terjadi pada masa-masa awal pemerintahan Daulah Abbasiyah. Sampai-sampai, di Baghdad dibangun sebuah aula khusus untuk ajang diskusi para ulama; kompetisi para pujangga; dan perdebatan para penulis, Kompetisi ini khusus untuk kalangan cendekiawan yang berwawasan luas. Setiap orang yang unggul ingin mengambil dari ilmu yang ia miliki sebagai sarana untuk meraih kemuliaan.
Para khalifah menciptakan majelis-majelis diskusi di Istana para penguasa. Diantara para penguasa ada yang ikut serta dalam tukar pendapat. Dari beberapa majelis diskusi tersebut ada pula majelis yang diskusi yang bertujuan untuk membangkitkan semangat dalam pembelaan terhadap mahdzab.
Diskusi dan perdebatan antara para Ahli Fikih juga terjadi dibeberapa tempat terutama tempat-tempat yang merupakan pusat ilmu pengetahuan saat itu seperti: Madinah, Bashrah, Kufah, Damaskus & Fustat. Tak luput mereka juga mengadakan diskusi-diskusi saat mereka berhaji.
Diskusi keilmuan antara para ulama tidak hanya terjadi antara lisan saja bahkan bahkan juga melalui surat menyurat. Terutama jika jarak mereka berjauhan, Bahkan Ulama sekelas Imam Malik pun terlibat diskusi yang hebat antara ulama se -Zamannya sebut saja Imam Al Laits.
Perbedaan pendapat juga terjadi antara Imam Syafi’i & Imam Malik, Bahkan sepeninggal Imam Malik, Imam Syafi’I merilis buku yang berjudul khilafu Malik(Menyelisihi Imam Malik). Sebagaimana kita ketahui bahwa Imam malik merupakan Sumber ilmu bagi Imam Syafi’i, karenanya menyebarkan buku tersebut sangat berat bagi Imam Syafi’I mengingat imam Malik(pencetus Mahdzab Maliki) adalah Gurunya.
Namun pada akhirnya Imam Syafi’I pun menyebarkannya. Disatu pihak Sebagai Ulama yang lebih muda dari Malik & Syafi’I, Imam Ahmad memiliki pandangan fikih yang lain dan berbeda pendapat dengan Imam syafi’I, yang akhirnya pandangan fikih Ahmad bin Hambal merupakan hal yang baru . Bukannya bermahdzab maliki atau Syafi’i melainkan Mahdzab Hambali. Zaman itu banyak ulama yang hidup semisal dengan mereka, sehingga debat, diskusi, Tahdzir-mentahdzir pun tak ter hindarkan diantara para ulama. Hal ini wajar karena mereka memiliki ilmu pengetahuan akan hal tersebut. Perkara tahdzir-mentahdzir merupakan ranah para ulama.
Demikanlah sekelumit gambaran bagaimana nuansa keilmuan yang kuat dan perbedaan fikih diantara para ahli ilmu. Dan hal tersebut tidaklah menjadikan mereka berpecah belah. Melainkan sebagai sarana untuk menambah keilmuan.
Baca Juga: menyikapi perbedaan pndapat
[Dimuat dari Buku: “Biografi Imam Syafi’i”]