Melahirkan Pemimpin yang Ideal
Oleh : Ustadz Muh. Yani Abd. Karim, Lc., MA
(dikutip dari khutbah Jum’at)
Hidup Bahagia merupakan cita-cita setiap orang yang beriman di dunia ini. Setelah itu menuju rasa merdeka, jiwanya merdeka dari berbagai macam ikatan, belenggu dan hanya mengikatkan diri kepada Dzat yang Maha kuat, Maha segalanya. Ketika jiwa dapat mengimplementasikan berbagai bentuk penghambaannya kepada Allah, ketika jiwa merasakan kelapangan, ketentraman dan kelezatan di dalam berta’abbud kepada Allah. Inilah yang harus menjadi usaha setiap mukmin, terlepas dari segala kondisi yang ada disekitarnya dan keadaan kesehariaannya.
Setiap orang beriman harus berada di dalam kondisi keimanan yang prima, keimanan prima didapatkan ketika tak ada lagi penghalang untuk berinteraksi dengan Allah setiap saat. “Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang”. Bila setiap orang telah merasakan ketenangan dalam hatinya maka ia juga berhak mengejar kebahagiaan lain, yaitu kebahagiaan berinteraksi. Ketika ia bisa menyaksikan Islam ini tegak, kehidupan sosial dimana syariat Allah ditegakkan, dimana kebaikan-kebaikan begitu dominan dalam kehidupan. Disaat keburukan/kejahatan, itu adalah sesuatu yang sangat kecil/minim.
Kebahagiaan dimana kita bisa menemukan rasa aman, kondisi bermasyarakat yang tidak berkekurangan, menghadirkan rasa tenang, suasana sentosa setiap waktu jengkal dalam kehidupan. Firman Allah:
Artinya:
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِى ٱلۡأَرۡضِ ڪَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِينَہُمُ ٱلَّذِى ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ وَلَيُبَدِّلَنَّہُم مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنً۬اۚ يَعۡبُدُونَنِى لَا يُشۡرِكُونَ بِى شَيۡـًٔ۬اۚ وَمَن ڪَفَرَ بَعۡدَ ذَٲلِكَ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡفَـٰسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik”(Q.S.An-Nuur:55).
Jadi kita sebagi orang beriman, selain memiliki misi pribadi menjadi Muslim yang paripurna, menjalankan Islam secara maksimal, kita juga adalah bagian dari ummat yang terbaik. Dalam Al-Quran disebutkan sebagai ummatan wahidah, ummat yang satu, jati diri kita adalah khairu ummah. Jadi kita punya tugas bersama yang harus dijalankan untuk melahirkan kehidupan masyarakat yang baik, penuh dengan keamanan dan kesentosaan. Ini berulang-berulang disebutkan dalam Al-Quran. Kadang disebut al–amn, kadang aaminan muthmaiinnnah.
“Allah telah membuat perumpamaan kepada kalian suatu negeri yang aman lagi sentosa”. Kata ahli tafsir, aman berarti ada jaminan adanya ketenangan, tidak ada gangguan baik dari dalam maupun dari luar. Sedangkan muthmainnah berarti jaminan kesejahteraan, dimana masyarakat tidak akan ditimpa kelaparan, “Di negeri ini, karunia Allah datang setiap saat dari berbagai arah”.
Untuk melahirkan negeri seperti ini, banyak hal yang harus dipersiapkan, dan salah satu yang paling krusial yang bisa menentukan adalah kehadiran pemimpin. Adanya kepemimpinan yang kuat, karena hanya pemimpin yang kuat yang bisa menghadirkan rasa aman ditengah-tengah masyarakatnya. Aman dari luar, karena pemimpin ini tegas, bisa menampilkan kewibawaan negerinya dimata orang lain sehingga mereka tidak berani mengganggu, apalagi membodohi atau mendzalimi. Aman dari dalam karena pemimpin yang kuat bisa menegakkan keadilan. Munculnya masalah internal di masyarakat karena tidak tegaknya keadilan ditengah-tengah mereka. Dan ini sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan baik dari sistemnya maupun figur pemimpin itu sendiri.
Pembaca yang dirahmati Allah
Oleh karena itu dari awal Islam sudah hadir dengan konsep kepemimpinan, dan dari tuntunan Al-Quran dan hadits, kita dapatkan sangat pentingnya kepemimpinan dalam Islam. Sampai dikatakan ‘laa Islaman illa bil jamaah, wa laa jamaah illa bil imamah’. Islam adalah agama yang sangat terkait dengan kejama’ahan, kehidupan bersama, persatuan dan kesatuan ummat. Dan karena itulah peran pemimpin menjadi sangat penting dalam Islam, bahkan menjadi bagian dalam pembahasan aqidah. Kepemimpinan adalah aqidah, syariah, adab dan akhlak. Semuanya ter-cover di dalam aspek ajaran Islam.
Secara aqidah, Islam memandang kepemimpinan adalah bagian dari perwakilan kepemimpinan dan kekuasaan Allah. Sehingga seorang pemimpin harus mencerminkan sifat Rabbani, menjadi perpanjangan tangan dari syariat Allah. Karena itu salah satu syarat yang paling penting dalam memilih pemimpin adalah mencari pemimpin yang beraqidah yang lurus, yang shaleh dan bisa menshalehkan orang lain serta berakhlak yang mulia dalam kesehariannya, bukan hanya pada saat tertentu.
Rasulullah mengingatkan, begitu pentingnya hal ini, sehingga tidak setiap orang harus punya cita-cita dan ambisi menjadi seorang pemimpin. Rasulullah lebih mengedepankan unsur tarhib daripada motivasi/targhib. Bila kita perhatikan hadits-hadits, Rasulullah banyak mengingatkan dan mengancam daripada memotivasi untuk menjadi pemimpin. Dalam hadits abi Hurairah
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ الْأَكْبَرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
“Sesungguhnya kalian akan menjadi loba dengan kekuasaan, padahal itu akan menjadi penyesalan dihari kiamat kelak”.
Rasulullah melarang dengan tegas beberapa shahabat beliau, yang mungkin saja bukan berambisi tapi merasa punya kemampuan untuk menjadi pemimpin pada urusan-urusan tertentu. Rasulullah melarang dengan mengatakan, “Saya mencintai anda” saat mereka meminta jabatan tersebut.
Semua ini menjadi krusial karena masalah tanggungjawab dan amanah yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah.
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّت) متفق عليه
“Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin, wanita juga adalah pemimpin atas rumah dan anak suaminya. Sehingga seluruh kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin.” (Muttafaqun alaihi)
Makanya para salafushaleh dimasa awal Islam sangat khawatir untuk menjadi pemimpin, dan saat mereka menjadi pemimpin, mereka mengkhawatirkan bila ada diantara rakyatnya bahkan hewan dibawah kekuasaannya yang terdzalimi. Ada khalifah yang sampai khawatir ada semut yang terinjak dijalanan, ada hewan ternak yang kelaparan. Begitu beratnya persoalan ini.
Baca Juga>>
Keriteria Memilih Pasangan Hidup
Memilih Teman Bergaul |
Related Posts
« Keutamaan Menjalin Silaturrahim Penunggang Kuda Berjubah Putih »